Jumat, 18 Maret 2016

Dijual Tenaga Dengan Harga tinggi!!!

Di jaman yang berpondasikan modal dan serba cari untung ini, kapitalisme, kemampuan yang paling fundamental harus dimiliki setiap orang adalah kemampuan bertransaksi, jual-beli. Kita harus mampu membeli semua hal semurah-murahnya dan menjual apa saja semahal-mahalnya. Kesalahan yang paling fatal dari memahami jual-beli sebagai suatu konteks, kita berpikir bahwa yang perlu mendalaminya adalah mereka yang berprofesi sebagai pedagang (pelaku usaha) saja. Padahal, mendalami kemampuan bertransaksi adalah kewajiban setiap orang bila tidak mau tergilas oleh jaman yang tengah digerakan mesin berteknologi kapital (modal), berbahan bakar uang.

Sudah barang tentu kita ketahui apa yang dimaksud dengan jual-beli tanpa harus mengulik maknanya lagi, meskipun sebenarnya kita telah gagal memahaminya. Jual-beli yang sehat, idealnya bertujuan untuk saling bertukar kebutuhan antara subjek ekonomi dengan subjek ekonomi lainnya. Tetapi yang ideal memang selalu sulit dicari di muka bumi ini. Kenyataannya, di dalam proses jual beli yang tujuan awalnya untuk saling bertukar kebutuhan itu, dirusak oleh para pencari nilai lebih yang berlebihan. Para pencari nilai lebih yang berlebihan ini melakukan hal tersebut demi kemakmuran pribadi atas dasar rasa malas dan kekhawatiran tak berdasar. Dan biasanya para pencari nilai lebih (keuntungan) ini adalah tipe orang yang selalu pandai memanfaatkan situasi untuk keluar atau menjauh dari keadaan sempit dan suka beralapang-lapang sendirian, walaupun kelapangan itu harus diraih dengan merenggut kelapangan orang lain tanpa sedikitpun rasa peduli. Orang-orang macam ini, biasa dinamai sebagai orang yang pragmatis. Sah-sah saja menjadi pragmatis bila hasil olah pikir kita menghasilkan situasi yang adil bagi keberlangsungan umum (sosial) dalam mengatasi berbagai masalah yang pasti ada mengisi kehidupan. Makna dari pragmatisme, sederhananya adalah segala bentuk pikiran yang diawali dengan kata, "yang penting ...". Dan pragmatisme yang baik adalah "yang penting bukan diri sendiri".

Kembali ke pokok bahasan awal, pentingnya memiliki kemampuan jual-beli. Uang menjadi sebuah unsur kehidupan utama mungkin lebih fital dari pada air karena sekarang air saja harus dibeli. Di jaman sekarang, semua hal adalah komoditas yang punya harga, punya nilai ekonomis yang bisa dikonversikan menjadi uang yang berguna untuk membeli komoditas lain yang kita butuhkan atau sekadar ingin. Sekarang ini, bahkan, kecantikan wajah yang ukurannya relatif dan abstrak dapat dihargai dengan uang yang penilaiannya bersifat baku. Ya, kini, semua hal bukan lagi soal tuhan. Uang menjelma tuhan. Bagaimana tidak dikatakan demikian. Dulu, ketika agama sedang gandrung-gandrungnya, tidak punya apa-apa, orang beriman tidak ragu dan tetap tenang karena mereka yakin tuhan mengizinkan semua mahluknya lahir setelah ditetapkan rezeki bagi mereka. "Kami tidak takut atau khawatir karena kami punya tuhan" kira-kira begitu prinsipnya. Sekarang, kita baru bisa tenang ketika sedang memiliki uang yang maha ajaib itu karena bisa ditukar dengan apa saja. Hari ini, iman cuma sebatas pengakuan. Oleh  karena itu, yang pertama harus dirubah adalah cara pikir kita dalam menilai sesuatu harus bertolak ukur kepada uang, baik sesuatu yang dimaksud berisifat konkrit maupun abstrak karena tanpa uang sistem kehidupan yang bekerja ditingkat masyarakat saat ini akan mogok dan begitu pula ditingkat individu-individu.

Dijadikannya kecantikan sebagai contoh sebuah komoditas abstrak yang bernilai jual di atas, bertujuan untuk lebih mudah memahami apa yang menjadi maksud utama dari tulisan ini. Maksud utama itu adalah memahami tenaga kerja sebagai sebuah komoditas bernilai jual dan seharusnya dihargai lebih tinggi dari pada kecantikan. Bagi yang memahami atau pernah meraba-raba marxisme atau ideologi-ideologi kiri yang lain, tentu tahu bahwa yang tidak adil dalam sistem kapitalis yang bekerja di kehidupan ini sampai sekarang adalah para pekerja (kaum proletar), khususnya pekerja kasar yang bekerja lebih keras malah mendapatkan porsi konsumsi lebih sedikit ketimbang para pemodal (kaum kapital). Hal tersebut bisa terjadi karena upah para pekerja yang mengelola bahan baku dan alat produksi milik para pemodal harus dapat diupah seminimal mungkin oleh para pemodal agar para pemodal bisa mendapat nilai lebih (keuntungan), seberlebihan mungkin. Dan ironisnya, para pemodal yang jumlahnya segelintir ini justru malah dianggap sebagai jantung dari sistem kehidupan yang bekerja sekarang karena mereka dianggap sebagai kalangan yang mampu memberikan pekerjaan bagi mereka yang hanya memiliki tenaga sebagai modal untuk bergulat dengan kehidupan yang dijalani yang secara statistik jumlahnya bisa berpuluh mungkin beratus atau mungkin lebih dari itu kali lipatnya. Dan bodohnya, para kaum pekerja justru menaruh hormat setinggi-tingginya kepada para pemodal yang mereka anggap telah menjadi tu(h)an bagi kehidupan mereka, pandangan seperti ini dianggap sangat alami dan wajar di jaman sekarang, tidakkah begitu?

Cara kita memahami sistem kehidupan telah salah karena menganggapnya sebagaimana sebuah organisme yang organnya harus terus berkerja agar tetap hidup. Padahal, dari pada dikatakan sebagai sistem, kehidupan yang dijalankan oleh orang banyak atau masyarakat justru lebih mirip dengan konstruksi bangunan. Apabila kita menganggap sistem kehidupan ini laiknya sebuah organisme, otomatis kita akan menganggap bahwa kaum pemodal yang dapat menguasai bahan baku dan alat produksi terus-menerus   karena mereka akan selalau mengakumulasikan nilai lebih (keuntungan) yang mereka dapat untuk dijadikan modal (membeli bahan baku dan alat produksi baru)   sebagai jantung yang teramat penting. Sedangkan bila kita melihat kehidupan dari struktur masyarakat laiknya konstruksi sebuah bangunan, kita akan melihat bahwa kaum pekerja merupakan pondasi dari bangunan yang menopang unsur-unsur lain yang ada pada sebuah bangunan. Kenapa para pekerja merupakan pondasi dari struktur masyarakat? Karena tanpa adanya kaum pekerja proses produksi tidak berlangsung, menyebabkan tidak ada komoditas yang dihasilkan, sehingga konsumsi tidak terjadi, kehidupan tidak bisa berjalan alias berhenti. Artinya para pekerja punya posisi lebih lebih vital, kalau tidak dikatakan strategis sebagai kalangan yang berpotensi menuai nilai lebih (keuntungan) yang dihasilkan dari proses produksi karena tanpa para pekerja konstruksi atau sistem kehidupan akan runtuh!!!

Sekarang kita sudah sama-sama sadar bagaimana pentingnya posisi pekerja di dalam kehidupan ini. Lalu apa yang seharusnya dilakukan para pekerja agar dapat menuai nilai lebih (keuntungan) yang lebih tinggi atau paling tidak setara dengan kaum pemodal? Di sinilah pentingnya persatuan bagi para pekerja. Pekerja harus berserikat untuk melawan ketidakadilan yang mereka terima selama ini. Dan perserikatan yang dibentuk para pekerja harus mampu mengakumulasi tenaga yang mereka miliki sebagai bagian dari komoditas yang diperlukan para pemodal untuk berproduksi yang harus dihargai setinggi-tingginya. Perserikatan pekerja perlu memiliki kesadaran baru, mereka harus memahami logika para pemodal dan melawan balik dengan logika tersebut, ini yang dimaksud perlunya kemampuan bertransaksi. Jangan pernah lagi terkurung dalam logika "bapak cari untung, kami cari makan". Para pekerja juga harus menikmati keuntungan yang didapati dari proses produksi. Agar keadaan tersebut dapat terjadi dibutuhkan kesepakatan dikalangan pekerja mengenai harga yang menguntungkan dalam menjual tenaga mereka kepada para pemodal dan para pekerja tidak boleh menjual tenaganya bila tidak sesuai dengan harga yang telah disepakati sesama pekerja. Para pekerja tidak boleh saling bersaing dengan menjual tenaga mereka semurah-murahnya agar mendapatkan pekerjaan dari para pemodal. Mungkin adalah hal yang sulit untuk mencapai kesepakatan yang semacam itu, di antara pekerja. Untuk itu, serikat kerja laiknya memiliki program-program yang mampu merubah pikiran pekerja agar sepakat dengan ketentuan tersebut. Misalnya, para pekerja dalam serikat kerja mulai menyisihkan uangnya secara kolektif untuk memenuhi kebutuhan ketika proses bertransaksi dengan para pemodal. Dalam perjuangan menjual tenaga dengan harga tinggi kepada para pemodal, satu-satunya kekuatan yang dimiliki para pekerja adalah melakukan mogok kerja, sebab senjata dimilki negara, dikuasai tentara, dan pemodal mengandalkan strategi PHK-nya. Itulah sebabnya dibutuhkan dana kolektif dari para pekerja untuk bertahan selama proses betransaksi, karena inti dari pertarungan atau transaksi tersebut adalah siapa yang tahan lama, pekerja bertahan tanpa mendapatkan upah, atau para pemodal tidak dapat melakukan proses produksi sehingga merugi. Mungkin cara yang dikatakan tersebut kurang atau tidak masuk akal untuk dilakukan, silakan diperdebatkan. Tetapi yang jelas yang dibutuhkan para pekerja yang selama ini tertindas dan terhisap untuk keluar dari penindasan dan penghisapan tersebut harus sampai pada kesepakatan dalam menghargai tinggi tenaga yang satu-satunya mereka punya yang bisa dikonversikan dengan uang. Sebenarnya, dalam proses jual-beli intinya terletak dalam menjual. Ketika kita dapat menjual komoditas yang kita punya dengan harga tinggi, kita tidak akan terlalu banyak menawar ketika membeli. Maka, para pekerja, jual tenagamu semahal-mahalnya dengan bersatu, kecantikan yang cuma urusan peler saja dibayar setinggi langit, masa tenagamu yang menyebabkan tetap berlangsungnya kehidupan ini mau hanya dibayar pas-pasan saja!!!

Elemen lain dari masyarakat di kehidupan ini selain pekerja dan pemodal, ada yang namanya negara yang dijalankan pemerintah. Pemerintah di jaman kapitalis ini cendrung lebih berpihak kepada pemodal. Padahal letak pemerintah seharusnya benar-benar tawar agar dapat menciptakan keadilan di tengah masyarakat yang diurusnya   digunakannya kata diurus karena saya benar-benar alergi dengan kata dipimpin, dan saya beranggapan pemerintahan yang baik adalah yang menjadi babu bagi masyarakatnya. Selama ini, tidak adanya rasa perlawanan di dalam diri para pekerja adalah efek dari buruknya pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Entah hal tersebut sengaja atau pemerintah memang benar-benar tidak tahu bagaimana pendidikan yang baik sebenarnya. Coba saja tanya ke diri kita masing-masing, tidakkah bagi kita pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah tujuan utamanya hanyalah sebagai penentu posisi kita ketika memasuki dunia kerja? Kita selalu berpikir bahwa semakin tinggi pendidikan yang kita enyam semakin baik pekerjaan yang kita terima nanti. Padahal, tidak ada pekerjaan yang tidak lebih baik dari pekerjaaan lainnya karena pekerjaan adalah cara manusia memuliakan hidupnya di muka bumi ini. Dan terbentuknya persepsi kita tersebut terutama kemampuan kita mengklasifikasi pekerjaan mana yang baik dan mana yang tidak lebih baik adalah satu bukti besar kegagalan pemerintah kita dalam menyediakan pelayanan pendidikan. Pendidikan yang baik seharusnya adalah pendidikan yang memberi kita informasi mengenai hak-hak dan kewajiban bedasarkan posisi kita di masyarakat, setidaknya. Memang formulasi mengenai pendidikan di kalimat sebelumnya kurang atau tidak berbau marxis sama sekali, tetapi melihat kondisi sekarang yang katanya demokrasi, pendidikan seharusnya sudah sampai di tingkat itu. Pendidikan seharusnya bukan sekadar untuk menaikan derajat sosial seseorang karena mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Hasil dari pendidikan seharusnya yang kontekstual dengan keadaan sekarang, sekali lagi adalah sadarnya masyarakat akan hak-haknya dan berani melawan demi tegaknya kembali hak-hak mereka yang dilanggar. Ah, tapi pemerintah bersahabat baik dengan pemodal, sepertinya yang begini hanya akan jadi mimpi di siang bolong selamanya. Tapi wajar saja sih, orang nilai lebih (keuntungan) yang dihasilkan dari proses produksi separo masuk kantong pemodal, separo lagi masuk kantong pemerintah, pekerja cuma dapat sisa-sisanya saja. AH!!! TAIK KUCING!!!!! 

Rabu, 16 Maret 2016

Kuhidupkan Puisiku

hidup adalah lakon
dari barisan teks penuh kontradiksi
yang mampu membuat senyum
penikmat puisi

hidup adalah sekalimat tesis
melawan antitesis
yang bermusuhan
lalu berkawan mencari jalan keluar

hidup adalah kronologi
hanya pengulangan
dari cerita pertentangan (pernindasan)
antara (oleh) penguasa dengan (kepada) kaum papa
dari masa ke masa

hidup adalah panggung
bagi para pegulat
yang saling menjatuhkan
saling mengunci
dan saling melumpuhkan

hidup memang anugerah
sekalian  kutukan
yang terlajur diberi
lagi tak diminta
tetapi harus disukuri

hidup ini anugerah
buat mereka yang beruntung
dan hipokrit

hidup ini kutukan
bagi mereka yang sial
dan enggan melawan

ada yang tidak wajar dalam hidup
atau hidup yang sebenarnya tidak wajar

hidup adalah kata tunggal
bermakna plural
yang berhadap-hadapan
dengan sikap siap
saling serang

atas kuasaku
puisi ini kuhidupkan
kutiupkan perlawanan
sehingga ia bernyawa