Jumat, 12 Januari 2018

Gerilyawan Kota

1

Sebelum kumulai, kuberi tau kepada kalian kalau yang kutulis ini bukan cerita cinta. Kalau pun kemudian ada kisah-kisah percintaan yang tertulis berkaitan dengan tokoh utamaku, tentu bukan itu yang kuharap untuk kalian taruh perhatian lebih, sebab jika cerita ini adalah sebuah perjudian dan diriku adalah bandarnya, kisah cinta tokohku di cerita ini bukanlah salah satu opsi yang kutawarkan untuk kalian pasang taruhan. Jika kemudian kalian yang membaca ternyata lebih memperhatikan kisah cintanya, ya terserah. Aku bisa apa untuk memaksa kalian? Lagi pula cinta memang begitu, kan? Tanpa usaha apa-apa cinta selalu bisa menarik perhatian, dengan sihirnya cinta dapat memperdayai siapa saja. Cinta selalu menang dan lewat ceritaku ini aku ingin mengalahkannya. Semoga kau berhasil, diriku sendiri!

===

Cerita ini akan kumulai dari ketika dia memasuki masa-masa yang dalam pendapat umum telah masuk ke usia awal dewasa. Hari ini dia harus memperbaharui kartu identitas kependudukannya, kewajiban ini harus dijalaninya akibat dari program pemerintah yang entah tujuannya apa, dia tidak tahu. Dia tidak peduli mungkin lebih tepatnya. Pagi ini dia mendatangi kantor administrasi kependudukan di lingkungan tempat dia tinggal. Menghadaplah ia ke salah satu pegawai di kantor itu, meminta data identitasnya dicatatkan dan berharap mendapat kartu tanda kependudukannya yang baru.

"Baik, siapa namamu?" pegawai itu bertanya.
"Aku anak pertama. Namaku ada pada salinan kartu keluarga itu." katanya sambil melirik selembar kertas yang diminta si pegawai, pada awal pertemuan keduanya.
"Kenapa tidak kausebut saja?"
"Apagunanya salinan surat itu kalau begitu?"
"Terserah, kau lah." lalu pegawai itu mulai mengetik namanya di komputer kerjanya.
"Agamamu?"
"Bukannya salinan surat itu berguna agar aku tidak banyak ditanya?"
"Baik-baik, kalau begitu kutanya kau satu hal, setalah itu tidak akan ada pertanyaan lain." Kata pegawai itu separuh kesal, "Informasi apa yang sudah berubah mengenai datamu dalam salinan surat ini?"
"Pekerjaan mungkin. Di sana masih tertulis pelajar, kan?"
"apa yang harus kutulis mengenai pekerjaan kalau begitu?"
"Tulis penyair di situ."
"Penyair?" tanya pegawai itu heran.
"Apa salahnya menjadi penyair?" dia bertanya balik.
"Masalahnya, tak pernah ada orang yang kolom pekerjaan di kartu tanda kependudukannya diisi dengan kata penyair di negara ini." pegawai itu menjelaskan.
"Buat aku jadi yang pertama."
"Kita buat jadi wiraswasta saja, ya?" pegawai itu membujuknya.
"Apa salahnya, sih?" dia bertanya dengan sedikit kesal.
"Tidak salah hanya sedikit aneh." pegawai itu tersenyum mengejek kali ini.
"Aneh?!" dia balas senyuman mengejek itu dengan sebuah bentakan, "dasar gila! repot sekali urusan ini. Bakar saja salinan surat itu! Tidak jadi kubuat kartu tanda kependudukan setan itu!" dengan bergegas dia berdiri dari kursi yang didudukinya, lalu mengambil langkah pergi, keluar dari kantor administrasi itu dengan penuh kejengkelan.

===

Lelaki ini bukan seorang penyair yang menulis buku, lalu menjualnya. Sebetulnya dia mempu melakukan itu, tetapi dia memilih tidak. Dia selalu berpikir, buat apa menulis buku puisi lalu dicetak secara masal, bila nanti dibeli orang dan ada yang tidak dibaca. Dia merasa, jika dia memilih untuk menulis dan menjual buku-buku puisi, dia tidak akan terima kalau buku puisinya yang terjual tidak sampai dibaca oleh pembelinya, baginya itu adalah sebuah penghinaan. Baginya puisinya lebih berharga dari pada uang, satu-satunya cara menghargai puisinya adalah dengan membacanya, tidak peduli orang-orang suka atau tidak. Atas dasar pikiran-pikiran itu, dia memilih untuk membacakan puisinya di tempat-tempat umum. Dia mengamenkan puisinya. Dia sadar, orang bisa saja tidak peduli ketika puisinya dibacakan, tetapi dia yakin bahwa orang-orang tidak bisa sepenuhnya untuk tidak mendengar selama telinganya tidak tuli.

Sebelum mengamen puisi, dia pernah menempuh pendidikan di sebuah universitas dan gagal menyelesaikannya. Sampai hari ini, dia tidak pernah menyesali itu. Perenungan-perenungannya tentang hidup, membawanya pada kesadaran bahwa gelar-gelar dari universitas adalah omong kosong. Selain itu, dalam pandangannya, pendidikan formal pada masa sekarang, mengiring orang-orang menjadi budak. Yang lebih miskin akan menjadi budak bagi orang yang beberapa tingkat lebih kaya diatasnya. Dia menganggap dirinya adalah orang bebas dan dia sangat serius dengan pernyataanya itu terutama tentang arti kebebasan yang dia maksud. Itulah yang membuatnya terkesan atau sungguh-sungguh dia begitu, tak ada yang tahu, sangat anti dengan kehidupan yang mapan.

Hasil dari mengamenkan puisi, tentu saja yang didapatnya hanyalah kemiskinan. Tapi baginya itu bukan masalah, selama perut masih bisa diisi dan terus menulis puisi-puisi baru, semuanya sudah cukup. Dia tidur di mana saja, selama ada permukaan yang rata untuk merebahkan badan, itu sudah cukup baginya untuk memejamkan mata dan tertidur. Sesekali dia tidur di tempat tinggal sewaan kekasihnya yang seorang pelacur. Dia menginap di sana, biasanya jika ingin mandi dan menukar baju. Dia menyimpan pakaiannya di sana. Kekasihnya seorang pelacur dan itu lagi-lagi bukanlah suatu masalah baginya. Dia tidak melihat kekasihnya itu dari apa pekerjaan yang dijalaninya. Yang dia tahu kekasihnya itu adalah seorang perempuan dengan pemikiran yang menakjubkan, selalu menginspirasi dirinya dalam menulis puisi-puisi, puisi apa saja. Dia sadar betul, kekasihnya melacur akibat dari kesintingan dunia yang tidak adil ini. Tidak masalah. Tidak masalah. Tidak ada yang menjadi masalah bagi kehidupan pribadinya, semuanya cukup. Bagi lelaki ini cuma ada satu permasalahan di dunia ini, apalagi kalau bukan ketidakadilan.

Kalian tidak akan mampu membayangkan, pengalaman hidup macam apa yang telah dilaluinya walapun usianya masih terbilang muda. Pengalaman-pengalaman itu, memberinya kemampuan, entah kelebihan itu adalah sebuah berkat atau itu adalah sebuah kutukan, tak ada yang tahu. Kelebihan itu tersimpan di dalam kepalanya, menyebabkan indra-indra di badannya menjadi sangat sensitif dalam mengidentifikasi segala macam kebusukan. Dia memandang kehidupan ini dari segi-seginya yang keji. Membuatnya menjadi pribadi yang sangat ahli mendeteksi kemunafikan. Kelebihannya itu menjadikannya pribadi yang sangat curiga. Dia selalu melihat hal-hal manis sebagai suatu selubung yang menyembunyikan niat-niat jahat, karena dia yakin, kehidupan ini sudah membusuk sampai ke intinya. Itulah alasan, mengapa pilihan kata dalam puisinya sangat tidak terpuji dan amoral. Diksi-diksi kasar itu bakal mengusik siapa saja, karena pendengarnya bakal menemukan kemunafikannya sendiri. Jika boleh kugambarkan, mungkin puisinya itu begini: mendengar atau membaca puisinya akan memperlihatkan kepada siapa saja, kerinduan langit kepada bumi yang begitu menggebu, sehingga langit meruntuhkan diri dan memberikan manusia sebuah kiamat, semua ini omong kosong, keadilan tidak benar-benar tegak seperti dalam cerita-cerita bermoral.

===

Seperginya ia dari kantor administrasi itu, dia langsung menyetop dan menaiki sebuah bis kota reot di jalan raya depan kantor administrasi itu. Di dalam bis itu dia membacakan sebuah puisi, yang diberinya judul: Gerilyawan Kota, yang dituturkan dengan begitu saja tanpa ditulisnya ke selembar kertas atau apapun terlebih dahulu. berikut ini adalah isi dari puisi tersebut:

Aku penduduk sebuah kota
yang mempersolek wajahnya dengan gedung-gedung tinggi
untuk menyembunyikan kampung-kampung kumuh
yang menjadi bopengnya

Aku penduduk sebuah kota
manusia tanpa nama, agama bahkan kejelasan usia
yang beerkerja sebagai gerilya
dengan kata sebagai senjata

Aku adalah seorang gerilya
kota ini adalah rimbaku
yang ingin kurebut adalah kemerdekaan atas diriku sendiri
puisiku adalah tantangan bagi segala jenis kekuasaan

Seandainya puisiku adalah senapan
berpelurukan kata-kata
kupastikan seluruh
pejabat-pejabat itu
para pemuka itu
dan orang-orang kaya
telah mati di tanganku
setelah kutembak kepalnya dengan sepucuk puisi
sebab kata-kataku tiada batas dan takan pernah habis

Hari ini dia hanya membaca puisi itu di semua tempat-tempatnya mengamen. Seperti biasa mengamen puisi selalu pahit, karena hanya sedikit orang yang tertarik kepada puisi pada jaman sekarang. Hasil mengamennya hari ini, hanya memberinya dua bungkus nasi dengan lauk apa adanya. Malam ini, dia pulang ke rumah kekasihnya.

===

Bersambung


Jumat, 24 Maret 2017

Segerakan atau Merana

berterus terang mencintai orang memberimu keberanian yang utuh. keberanian dalam arti bodoh dan keberanian dalam pengertian paling bijaksana. seluruhnya!

keberanian yang benar-benar segar, juga jernih. arti keberanian yang lama yang sebelumnya kaurasakan dan kau mengerti di-deskonstruksi, digantikan oleh yang baru. dampaknya sampai membuatmu sebagai persona punya pesona yang sedikit lebih menyolok sebab keberanian baru yang kau dapat sedikit-banyak mengubahmu jadi orang yang lebih menyenangkan, dan itu menular!

saranku, nyatakan segera padanya! jangan kautunda! waktu yang kaucari-cari itu hanya ilusi dan percuma. cepat atau lambat dia juga nanti tahu, jadi buat apa lama-lama? ya, kan!? asal kautahu menyimpan perasaan itu darinya cuma membuatmu merana dan murung, sehingga satu-dua kawan setiamu merasa jijik pada tingkahmu. kata banyak orang bijak, yang esensial dari ibadah adalah kecintaan, dan menunda-nunda apa yang sejatinya ibadah adalah kurang baik untuk tidak dikatai dosa. jadi, segerakanlah! :D

sebenarnya, tulisan ini adalah permintaan ampun buat orang-orang yang pernah ingin bicara soal cinta/percintaannya padaku yang kutanggapi sambil lalu, tak acuh. jujur, selama ini kunilai kalian mengelikan karena pembawaan diri kalian ketika itu kukira dibuat-buat, tahunya tidak. aku mengerti rasanya sekarang. sumpah! demi tuhanmu :)

Senin, 20 Februari 2017

Detik Yang Terkutuk

Tak ada yang bekerja lebih keras dari jarum detik
Bergerak 86.400 kali setiap hari
Mampukah langkahmu menandinginya?

Detik sebagai dimensi adalah jalan tanpa simpang, tanpa ujung dan benar-benar lurus
Dipenuhi kejutan-kejutan
Tak jarang hanya menyuguhkan kebosanan
Namun, seluruh manusia setia menyusurinya
Menua menuju sekarat
Menyongsong liang lahat

20 tahun kau telah hidup, adikku
Sudah berapa detik yang kautelusuri?
Berapa banyak yang berbuah nikmat?
Dan beberapa banyak yang berbuah busuk?
Tak perlu kaujawab, lupakan!
Yang perlu kauingat, sadarilah hadirnya dan bencilah padanya
Agar selalu kautampilkan sisi terbaikmu dihadapan mereka yang kaucinta
Sehingga kematianmu kelak menjadi simbol kebebasan
Dari belenggu yang bernama waktu

Catatan: ditulis dalam rangka memperingati hari lahir adik fiktifku yang manis, Mahdia Qurrota Aini Arifin yang ke-20 tahun

Jumat, 18 Maret 2016

Dijual Tenaga Dengan Harga tinggi!!!

Di jaman yang berpondasikan modal dan serba cari untung ini, kapitalisme, kemampuan yang paling fundamental harus dimiliki setiap orang adalah kemampuan bertransaksi, jual-beli. Kita harus mampu membeli semua hal semurah-murahnya dan menjual apa saja semahal-mahalnya. Kesalahan yang paling fatal dari memahami jual-beli sebagai suatu konteks, kita berpikir bahwa yang perlu mendalaminya adalah mereka yang berprofesi sebagai pedagang (pelaku usaha) saja. Padahal, mendalami kemampuan bertransaksi adalah kewajiban setiap orang bila tidak mau tergilas oleh jaman yang tengah digerakan mesin berteknologi kapital (modal), berbahan bakar uang.

Sudah barang tentu kita ketahui apa yang dimaksud dengan jual-beli tanpa harus mengulik maknanya lagi, meskipun sebenarnya kita telah gagal memahaminya. Jual-beli yang sehat, idealnya bertujuan untuk saling bertukar kebutuhan antara subjek ekonomi dengan subjek ekonomi lainnya. Tetapi yang ideal memang selalu sulit dicari di muka bumi ini. Kenyataannya, di dalam proses jual beli yang tujuan awalnya untuk saling bertukar kebutuhan itu, dirusak oleh para pencari nilai lebih yang berlebihan. Para pencari nilai lebih yang berlebihan ini melakukan hal tersebut demi kemakmuran pribadi atas dasar rasa malas dan kekhawatiran tak berdasar. Dan biasanya para pencari nilai lebih (keuntungan) ini adalah tipe orang yang selalu pandai memanfaatkan situasi untuk keluar atau menjauh dari keadaan sempit dan suka beralapang-lapang sendirian, walaupun kelapangan itu harus diraih dengan merenggut kelapangan orang lain tanpa sedikitpun rasa peduli. Orang-orang macam ini, biasa dinamai sebagai orang yang pragmatis. Sah-sah saja menjadi pragmatis bila hasil olah pikir kita menghasilkan situasi yang adil bagi keberlangsungan umum (sosial) dalam mengatasi berbagai masalah yang pasti ada mengisi kehidupan. Makna dari pragmatisme, sederhananya adalah segala bentuk pikiran yang diawali dengan kata, "yang penting ...". Dan pragmatisme yang baik adalah "yang penting bukan diri sendiri".

Kembali ke pokok bahasan awal, pentingnya memiliki kemampuan jual-beli. Uang menjadi sebuah unsur kehidupan utama mungkin lebih fital dari pada air karena sekarang air saja harus dibeli. Di jaman sekarang, semua hal adalah komoditas yang punya harga, punya nilai ekonomis yang bisa dikonversikan menjadi uang yang berguna untuk membeli komoditas lain yang kita butuhkan atau sekadar ingin. Sekarang ini, bahkan, kecantikan wajah yang ukurannya relatif dan abstrak dapat dihargai dengan uang yang penilaiannya bersifat baku. Ya, kini, semua hal bukan lagi soal tuhan. Uang menjelma tuhan. Bagaimana tidak dikatakan demikian. Dulu, ketika agama sedang gandrung-gandrungnya, tidak punya apa-apa, orang beriman tidak ragu dan tetap tenang karena mereka yakin tuhan mengizinkan semua mahluknya lahir setelah ditetapkan rezeki bagi mereka. "Kami tidak takut atau khawatir karena kami punya tuhan" kira-kira begitu prinsipnya. Sekarang, kita baru bisa tenang ketika sedang memiliki uang yang maha ajaib itu karena bisa ditukar dengan apa saja. Hari ini, iman cuma sebatas pengakuan. Oleh  karena itu, yang pertama harus dirubah adalah cara pikir kita dalam menilai sesuatu harus bertolak ukur kepada uang, baik sesuatu yang dimaksud berisifat konkrit maupun abstrak karena tanpa uang sistem kehidupan yang bekerja ditingkat masyarakat saat ini akan mogok dan begitu pula ditingkat individu-individu.

Dijadikannya kecantikan sebagai contoh sebuah komoditas abstrak yang bernilai jual di atas, bertujuan untuk lebih mudah memahami apa yang menjadi maksud utama dari tulisan ini. Maksud utama itu adalah memahami tenaga kerja sebagai sebuah komoditas bernilai jual dan seharusnya dihargai lebih tinggi dari pada kecantikan. Bagi yang memahami atau pernah meraba-raba marxisme atau ideologi-ideologi kiri yang lain, tentu tahu bahwa yang tidak adil dalam sistem kapitalis yang bekerja di kehidupan ini sampai sekarang adalah para pekerja (kaum proletar), khususnya pekerja kasar yang bekerja lebih keras malah mendapatkan porsi konsumsi lebih sedikit ketimbang para pemodal (kaum kapital). Hal tersebut bisa terjadi karena upah para pekerja yang mengelola bahan baku dan alat produksi milik para pemodal harus dapat diupah seminimal mungkin oleh para pemodal agar para pemodal bisa mendapat nilai lebih (keuntungan), seberlebihan mungkin. Dan ironisnya, para pemodal yang jumlahnya segelintir ini justru malah dianggap sebagai jantung dari sistem kehidupan yang bekerja sekarang karena mereka dianggap sebagai kalangan yang mampu memberikan pekerjaan bagi mereka yang hanya memiliki tenaga sebagai modal untuk bergulat dengan kehidupan yang dijalani yang secara statistik jumlahnya bisa berpuluh mungkin beratus atau mungkin lebih dari itu kali lipatnya. Dan bodohnya, para kaum pekerja justru menaruh hormat setinggi-tingginya kepada para pemodal yang mereka anggap telah menjadi tu(h)an bagi kehidupan mereka, pandangan seperti ini dianggap sangat alami dan wajar di jaman sekarang, tidakkah begitu?

Cara kita memahami sistem kehidupan telah salah karena menganggapnya sebagaimana sebuah organisme yang organnya harus terus berkerja agar tetap hidup. Padahal, dari pada dikatakan sebagai sistem, kehidupan yang dijalankan oleh orang banyak atau masyarakat justru lebih mirip dengan konstruksi bangunan. Apabila kita menganggap sistem kehidupan ini laiknya sebuah organisme, otomatis kita akan menganggap bahwa kaum pemodal yang dapat menguasai bahan baku dan alat produksi terus-menerus   karena mereka akan selalau mengakumulasikan nilai lebih (keuntungan) yang mereka dapat untuk dijadikan modal (membeli bahan baku dan alat produksi baru)   sebagai jantung yang teramat penting. Sedangkan bila kita melihat kehidupan dari struktur masyarakat laiknya konstruksi sebuah bangunan, kita akan melihat bahwa kaum pekerja merupakan pondasi dari bangunan yang menopang unsur-unsur lain yang ada pada sebuah bangunan. Kenapa para pekerja merupakan pondasi dari struktur masyarakat? Karena tanpa adanya kaum pekerja proses produksi tidak berlangsung, menyebabkan tidak ada komoditas yang dihasilkan, sehingga konsumsi tidak terjadi, kehidupan tidak bisa berjalan alias berhenti. Artinya para pekerja punya posisi lebih lebih vital, kalau tidak dikatakan strategis sebagai kalangan yang berpotensi menuai nilai lebih (keuntungan) yang dihasilkan dari proses produksi karena tanpa para pekerja konstruksi atau sistem kehidupan akan runtuh!!!

Sekarang kita sudah sama-sama sadar bagaimana pentingnya posisi pekerja di dalam kehidupan ini. Lalu apa yang seharusnya dilakukan para pekerja agar dapat menuai nilai lebih (keuntungan) yang lebih tinggi atau paling tidak setara dengan kaum pemodal? Di sinilah pentingnya persatuan bagi para pekerja. Pekerja harus berserikat untuk melawan ketidakadilan yang mereka terima selama ini. Dan perserikatan yang dibentuk para pekerja harus mampu mengakumulasi tenaga yang mereka miliki sebagai bagian dari komoditas yang diperlukan para pemodal untuk berproduksi yang harus dihargai setinggi-tingginya. Perserikatan pekerja perlu memiliki kesadaran baru, mereka harus memahami logika para pemodal dan melawan balik dengan logika tersebut, ini yang dimaksud perlunya kemampuan bertransaksi. Jangan pernah lagi terkurung dalam logika "bapak cari untung, kami cari makan". Para pekerja juga harus menikmati keuntungan yang didapati dari proses produksi. Agar keadaan tersebut dapat terjadi dibutuhkan kesepakatan dikalangan pekerja mengenai harga yang menguntungkan dalam menjual tenaga mereka kepada para pemodal dan para pekerja tidak boleh menjual tenaganya bila tidak sesuai dengan harga yang telah disepakati sesama pekerja. Para pekerja tidak boleh saling bersaing dengan menjual tenaga mereka semurah-murahnya agar mendapatkan pekerjaan dari para pemodal. Mungkin adalah hal yang sulit untuk mencapai kesepakatan yang semacam itu, di antara pekerja. Untuk itu, serikat kerja laiknya memiliki program-program yang mampu merubah pikiran pekerja agar sepakat dengan ketentuan tersebut. Misalnya, para pekerja dalam serikat kerja mulai menyisihkan uangnya secara kolektif untuk memenuhi kebutuhan ketika proses bertransaksi dengan para pemodal. Dalam perjuangan menjual tenaga dengan harga tinggi kepada para pemodal, satu-satunya kekuatan yang dimiliki para pekerja adalah melakukan mogok kerja, sebab senjata dimilki negara, dikuasai tentara, dan pemodal mengandalkan strategi PHK-nya. Itulah sebabnya dibutuhkan dana kolektif dari para pekerja untuk bertahan selama proses betransaksi, karena inti dari pertarungan atau transaksi tersebut adalah siapa yang tahan lama, pekerja bertahan tanpa mendapatkan upah, atau para pemodal tidak dapat melakukan proses produksi sehingga merugi. Mungkin cara yang dikatakan tersebut kurang atau tidak masuk akal untuk dilakukan, silakan diperdebatkan. Tetapi yang jelas yang dibutuhkan para pekerja yang selama ini tertindas dan terhisap untuk keluar dari penindasan dan penghisapan tersebut harus sampai pada kesepakatan dalam menghargai tinggi tenaga yang satu-satunya mereka punya yang bisa dikonversikan dengan uang. Sebenarnya, dalam proses jual-beli intinya terletak dalam menjual. Ketika kita dapat menjual komoditas yang kita punya dengan harga tinggi, kita tidak akan terlalu banyak menawar ketika membeli. Maka, para pekerja, jual tenagamu semahal-mahalnya dengan bersatu, kecantikan yang cuma urusan peler saja dibayar setinggi langit, masa tenagamu yang menyebabkan tetap berlangsungnya kehidupan ini mau hanya dibayar pas-pasan saja!!!

Elemen lain dari masyarakat di kehidupan ini selain pekerja dan pemodal, ada yang namanya negara yang dijalankan pemerintah. Pemerintah di jaman kapitalis ini cendrung lebih berpihak kepada pemodal. Padahal letak pemerintah seharusnya benar-benar tawar agar dapat menciptakan keadilan di tengah masyarakat yang diurusnya   digunakannya kata diurus karena saya benar-benar alergi dengan kata dipimpin, dan saya beranggapan pemerintahan yang baik adalah yang menjadi babu bagi masyarakatnya. Selama ini, tidak adanya rasa perlawanan di dalam diri para pekerja adalah efek dari buruknya pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Entah hal tersebut sengaja atau pemerintah memang benar-benar tidak tahu bagaimana pendidikan yang baik sebenarnya. Coba saja tanya ke diri kita masing-masing, tidakkah bagi kita pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah tujuan utamanya hanyalah sebagai penentu posisi kita ketika memasuki dunia kerja? Kita selalu berpikir bahwa semakin tinggi pendidikan yang kita enyam semakin baik pekerjaan yang kita terima nanti. Padahal, tidak ada pekerjaan yang tidak lebih baik dari pekerjaaan lainnya karena pekerjaan adalah cara manusia memuliakan hidupnya di muka bumi ini. Dan terbentuknya persepsi kita tersebut terutama kemampuan kita mengklasifikasi pekerjaan mana yang baik dan mana yang tidak lebih baik adalah satu bukti besar kegagalan pemerintah kita dalam menyediakan pelayanan pendidikan. Pendidikan yang baik seharusnya adalah pendidikan yang memberi kita informasi mengenai hak-hak dan kewajiban bedasarkan posisi kita di masyarakat, setidaknya. Memang formulasi mengenai pendidikan di kalimat sebelumnya kurang atau tidak berbau marxis sama sekali, tetapi melihat kondisi sekarang yang katanya demokrasi, pendidikan seharusnya sudah sampai di tingkat itu. Pendidikan seharusnya bukan sekadar untuk menaikan derajat sosial seseorang karena mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Hasil dari pendidikan seharusnya yang kontekstual dengan keadaan sekarang, sekali lagi adalah sadarnya masyarakat akan hak-haknya dan berani melawan demi tegaknya kembali hak-hak mereka yang dilanggar. Ah, tapi pemerintah bersahabat baik dengan pemodal, sepertinya yang begini hanya akan jadi mimpi di siang bolong selamanya. Tapi wajar saja sih, orang nilai lebih (keuntungan) yang dihasilkan dari proses produksi separo masuk kantong pemodal, separo lagi masuk kantong pemerintah, pekerja cuma dapat sisa-sisanya saja. AH!!! TAIK KUCING!!!!! 

Rabu, 16 Maret 2016

Kuhidupkan Puisiku

hidup adalah lakon
dari barisan teks penuh kontradiksi
yang mampu membuat senyum
penikmat puisi

hidup adalah sekalimat tesis
melawan antitesis
yang bermusuhan
lalu berkawan mencari jalan keluar

hidup adalah kronologi
hanya pengulangan
dari cerita pertentangan (pernindasan)
antara (oleh) penguasa dengan (kepada) kaum papa
dari masa ke masa

hidup adalah panggung
bagi para pegulat
yang saling menjatuhkan
saling mengunci
dan saling melumpuhkan

hidup memang anugerah
sekalian  kutukan
yang terlajur diberi
lagi tak diminta
tetapi harus disukuri

hidup ini anugerah
buat mereka yang beruntung
dan hipokrit

hidup ini kutukan
bagi mereka yang sial
dan enggan melawan

ada yang tidak wajar dalam hidup
atau hidup yang sebenarnya tidak wajar

hidup adalah kata tunggal
bermakna plural
yang berhadap-hadapan
dengan sikap siap
saling serang

atas kuasaku
puisi ini kuhidupkan
kutiupkan perlawanan
sehingga ia bernyawa



Sabtu, 30 Mei 2015

Never Grow Up and Stay Anarchy

      Naskah ini khusus kutulis untuk adik fiktifku, Alif Erlayas Ginting, karena hari ini tercatat sebagai tanggal kelahiranmu dua puluh satu tahun yang lalu. Sebenarnya aku takterlalu suka mengucapkan kata-kata selamat ulang tahun. Seperti yang kautahu, aku memang bukan orang yang berdiri teguh di atas imannya. Imanku ibarat sebuah kapal yang dihempas badai di tengah samudra, diombang-ambing pertanyaan, di bawah sambar-menyambarnya rasa ragu, alias dingin dan goyang. Tapi lif, meskipun kadar keimananku cuma segitu, aku 100% percaya kalau waktu adalah penggembala manusia yang menggiring kita agar tetap berada di jalan yang benar menuju maut. Sudah terlalu banyak bukti di dunia ini. Membuktikan kalau waktu memang begitu. Dan memperingati hari lahir justru selalu mengingatkanku tentang fakta mengenai waktu yang satu ini. Ya, sebagai penganti ucapan selamat ulang tahun, urang cuma bisa bilang never grow up and stay anarchy weh      nyunda dikit biar gaul, hahaha.
      Sebagai anak tertua di keluarga fiktif kita, ingin kusambung naskah ini dengan sedikit pesan-pesan yang boleh kauingat atau kaubantah bahkan kau boleh berhenti membaca ini, di sini asal kau senang. Aku senang menulis naskah ini meskipun mungkin tidak kaubaca sampai habis, karena aku menulis memang untuk senang-senang saja. Dan saat keadaan sama-sama senang tercipta, bukankah artinya kita sudah mencapai cita-cita anarki. Bukankah begitu rumus anarki kita?
      Yak, mari berhenti bicara anarki. Kita sambung ke pesan yang mau kusampaikan tadi.
      Lif, kau adalah anak yang beruntung. Walau tak sering bertemu tapi setiap kali kulihat ibu-bapak kandungmu      bukan ibu-bapak palsu kita      selalu memperlakukanmu dengan penuh kasih sayang. Jadi jagalah gema doa-doa mereka untukmu yang mengaum diakhirat sana. Capai cita-citamu!
      Aku ingat, kau pernah bilang kau tak benar-benar tahu apa cita-citamu     sebenarnya menurutku itu bagus      tapi Immanuel Kant bilang bahwa setiap orang punya tanggungjawab moral berdasarkan posisinya di masyarakat. Dan tanggung jawab moral kita sebagai seorang anak adalah mencapai apa yang kita cita-citakan untuk menyenangkan hati orang tua. Yak makanya, targetmu dalam waktu dekat ini adalah menentukan apa cita-citamu. Lalu memantapkan hati untuk mencapainya. Ini penting! Ingat kau sudah dua puluh satu tahun. Kalau kau masih bingung juga, aku ada saran, jadi abri sepertinya cocok juga untukmu, hahaha.
      Lif, kau pemuda beruntung. Refi adalah calon adik ipar fiktif yang manis, baik wajah maupun perilakunya.  Dia adalah hadiah terindah di hidupmu. Bila kalian nanti menikah      oh tidak, kalian harus menikah      dan kemudian punya anak, anak-anak kalian pasti tidur dengan nyenyak karena mendengar suara merdu ibunya menyanyikan lagu nina bobo. Oya, sudahkah kau berterima kasih kepada orang tuanya karena berkat keduanya dia hadir di dunia? Kalau belum segeralah! Dan jangan sekali-kali kau buat dia kecewa. Bila itu terjadi, aku Si Pewaris Tahta Sultan Arya Wibisana adalah orang yang pertama dan yang paling marah padamu. Kalau kautanya, apa urusanku marah kalau kaubuat dia kecewa? Pasti kujawab, apa alasanmu membuatnya kecewa? Kau pasti tidak punya! Dalam hubungan kalian berdua sepanjang pengelihatanku kau adalah pihak yang kalah karena dia adalah wanita pengalah. Sifat pengalahnya membuatmu tidak akan punya satupun alasan untuk membuatnya kecewa. Jaga dia! Jauhkan jiwa-raganya dari luka! Oya, lif, kauingat aku pernah bilang kalau menikah bukan untuk menghalkan dan melegalkan sex belaka? Tetapi menikah adalah menyatukan sepasang manusia untuk berkawan samapai mati. Dan cinta sejati baru terbukti bila seseorang kehilangan setengah nafasnya saat pasangannya mati. Nah, aku yakin Refi menyimpan air mata kehilangan paling bening untuk ditumpahkan di hari kematianmu. Dan kaupun sama     kita tidak akan tahu siapa yang akan ke sana duluan, hehehe. Itu makanya sering kubilang, kau harus nikahi dia. Dan aku juga yakin, dia pasti mau diajak menikah bagaimanpun keadaanmu waktu mengajaknya nanti.
      Lif, sebelum kuahiri aku ada permintaan     hahaha, kuharap kau memilih membaca naskah ini sampai habis.  Kauingat korek api gas merek TOKAI yang kuberi sebagai hadiah memperingati hari lahirmu? Bersediakah kau menyimpannya sampai waktu membawamu di bibir gerbang kematian? Sehingga waktu kaumelihatnya di saat-saat mendekati ajal kau masih bisa tertawa. Karena korek itu akan membawamu ke masa-masa kita sekarang yang kelak menjadi kenangan. Sejujurnya lif, aku takut sekali dilupakan oleh orang yang kuanggap kawan      apalagi kita lebih dari sekedar kawan, kita saudara fiktif, hahaha. Makanya aku suka memberi tanda kepada orang-orang yang pantas mengingatku. Dan pada kasusmu tandanya adalah korek api itu. Walau cuma korek dan caraku memberinya biasa-biasa saja, kupaksa kau untuk bersedia! Hahaha.
      Terakhir! Never Grow Up and Stay Anarchy!!! Viva La Anarchy!
   

Jumat, 29 Mei 2015

Merdekaku Berbeda

      Aku seorang bedebah. Kalau manusia sebenarnya juga barang, aku pasti kaukira sampah. Tak ada yang istimewa pada diriku tetapi ada sedikit perbedaan di antara kita. Kalian adalah gundik bagi siklus yang bernama sejarah, aku bukan. Kalian hidup dalam segala kepalsuan, aku yakin, aku lihat dan aku bukan. Kalau kalian menyangkal apa yang kubilang kepalsuan dengan mengatakan itu sebagai sebuah sikap bertanggungjawab, aku kasihan. Kalian bilang manusia harus bisa berlaku etis, kalau boleh dan kalau bisa aku ingin jadi binatang.
      Aku adalah manusia yang tidak ingin tunduk kepada satu pun tuan bahkan kepada kehidupan ini. Aku hanyalah orang yang ingin mencoba merdeka secara utuh. Bukan merdeka yang pura-pura seperti hidup kalian yang keruh oleh warna-warni. Jenis kehidupan yang terlalu banyak didandani, sehingga menciptakan estetika yang terpaksa. Hidup merdeka yang ingin kucapai adalah sebuah seni takterbeli yang dapat membuat kilau berlian paling besar di dunia menjadi murahan bila berada didekatnya.
      Aku adalah orang yang ingin merdeka bahkan dari bayangangannya sendiri. Dan kupikir hanya dengan tinggal di salah satu dari dua tempat, aku bisa mewujudkan keinginan itu. Kalau bukan, ruang yang sama sekali terang karena disinari dari segala penjuru. Kalau tidak, ruang yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun, apapun, seberkas cahaya sekalipun. Ya, kurasa hanya kedua tempat itu yang mampu membunuh semua bayang-bayang.