Jumat, 12 Januari 2018

Gerilyawan Kota

1

Sebelum kumulai, kuberi tau kepada kalian kalau yang kutulis ini bukan cerita cinta. Kalau pun kemudian ada kisah-kisah percintaan yang tertulis berkaitan dengan tokoh utamaku, tentu bukan itu yang kuharap untuk kalian taruh perhatian lebih, sebab jika cerita ini adalah sebuah perjudian dan diriku adalah bandarnya, kisah cinta tokohku di cerita ini bukanlah salah satu opsi yang kutawarkan untuk kalian pasang taruhan. Jika kemudian kalian yang membaca ternyata lebih memperhatikan kisah cintanya, ya terserah. Aku bisa apa untuk memaksa kalian? Lagi pula cinta memang begitu, kan? Tanpa usaha apa-apa cinta selalu bisa menarik perhatian, dengan sihirnya cinta dapat memperdayai siapa saja. Cinta selalu menang dan lewat ceritaku ini aku ingin mengalahkannya. Semoga kau berhasil, diriku sendiri!

===

Cerita ini akan kumulai dari ketika dia memasuki masa-masa yang dalam pendapat umum telah masuk ke usia awal dewasa. Hari ini dia harus memperbaharui kartu identitas kependudukannya, kewajiban ini harus dijalaninya akibat dari program pemerintah yang entah tujuannya apa, dia tidak tahu. Dia tidak peduli mungkin lebih tepatnya. Pagi ini dia mendatangi kantor administrasi kependudukan di lingkungan tempat dia tinggal. Menghadaplah ia ke salah satu pegawai di kantor itu, meminta data identitasnya dicatatkan dan berharap mendapat kartu tanda kependudukannya yang baru.

"Baik, siapa namamu?" pegawai itu bertanya.
"Aku anak pertama. Namaku ada pada salinan kartu keluarga itu." katanya sambil melirik selembar kertas yang diminta si pegawai, pada awal pertemuan keduanya.
"Kenapa tidak kausebut saja?"
"Apagunanya salinan surat itu kalau begitu?"
"Terserah, kau lah." lalu pegawai itu mulai mengetik namanya di komputer kerjanya.
"Agamamu?"
"Bukannya salinan surat itu berguna agar aku tidak banyak ditanya?"
"Baik-baik, kalau begitu kutanya kau satu hal, setalah itu tidak akan ada pertanyaan lain." Kata pegawai itu separuh kesal, "Informasi apa yang sudah berubah mengenai datamu dalam salinan surat ini?"
"Pekerjaan mungkin. Di sana masih tertulis pelajar, kan?"
"apa yang harus kutulis mengenai pekerjaan kalau begitu?"
"Tulis penyair di situ."
"Penyair?" tanya pegawai itu heran.
"Apa salahnya menjadi penyair?" dia bertanya balik.
"Masalahnya, tak pernah ada orang yang kolom pekerjaan di kartu tanda kependudukannya diisi dengan kata penyair di negara ini." pegawai itu menjelaskan.
"Buat aku jadi yang pertama."
"Kita buat jadi wiraswasta saja, ya?" pegawai itu membujuknya.
"Apa salahnya, sih?" dia bertanya dengan sedikit kesal.
"Tidak salah hanya sedikit aneh." pegawai itu tersenyum mengejek kali ini.
"Aneh?!" dia balas senyuman mengejek itu dengan sebuah bentakan, "dasar gila! repot sekali urusan ini. Bakar saja salinan surat itu! Tidak jadi kubuat kartu tanda kependudukan setan itu!" dengan bergegas dia berdiri dari kursi yang didudukinya, lalu mengambil langkah pergi, keluar dari kantor administrasi itu dengan penuh kejengkelan.

===

Lelaki ini bukan seorang penyair yang menulis buku, lalu menjualnya. Sebetulnya dia mempu melakukan itu, tetapi dia memilih tidak. Dia selalu berpikir, buat apa menulis buku puisi lalu dicetak secara masal, bila nanti dibeli orang dan ada yang tidak dibaca. Dia merasa, jika dia memilih untuk menulis dan menjual buku-buku puisi, dia tidak akan terima kalau buku puisinya yang terjual tidak sampai dibaca oleh pembelinya, baginya itu adalah sebuah penghinaan. Baginya puisinya lebih berharga dari pada uang, satu-satunya cara menghargai puisinya adalah dengan membacanya, tidak peduli orang-orang suka atau tidak. Atas dasar pikiran-pikiran itu, dia memilih untuk membacakan puisinya di tempat-tempat umum. Dia mengamenkan puisinya. Dia sadar, orang bisa saja tidak peduli ketika puisinya dibacakan, tetapi dia yakin bahwa orang-orang tidak bisa sepenuhnya untuk tidak mendengar selama telinganya tidak tuli.

Sebelum mengamen puisi, dia pernah menempuh pendidikan di sebuah universitas dan gagal menyelesaikannya. Sampai hari ini, dia tidak pernah menyesali itu. Perenungan-perenungannya tentang hidup, membawanya pada kesadaran bahwa gelar-gelar dari universitas adalah omong kosong. Selain itu, dalam pandangannya, pendidikan formal pada masa sekarang, mengiring orang-orang menjadi budak. Yang lebih miskin akan menjadi budak bagi orang yang beberapa tingkat lebih kaya diatasnya. Dia menganggap dirinya adalah orang bebas dan dia sangat serius dengan pernyataanya itu terutama tentang arti kebebasan yang dia maksud. Itulah yang membuatnya terkesan atau sungguh-sungguh dia begitu, tak ada yang tahu, sangat anti dengan kehidupan yang mapan.

Hasil dari mengamenkan puisi, tentu saja yang didapatnya hanyalah kemiskinan. Tapi baginya itu bukan masalah, selama perut masih bisa diisi dan terus menulis puisi-puisi baru, semuanya sudah cukup. Dia tidur di mana saja, selama ada permukaan yang rata untuk merebahkan badan, itu sudah cukup baginya untuk memejamkan mata dan tertidur. Sesekali dia tidur di tempat tinggal sewaan kekasihnya yang seorang pelacur. Dia menginap di sana, biasanya jika ingin mandi dan menukar baju. Dia menyimpan pakaiannya di sana. Kekasihnya seorang pelacur dan itu lagi-lagi bukanlah suatu masalah baginya. Dia tidak melihat kekasihnya itu dari apa pekerjaan yang dijalaninya. Yang dia tahu kekasihnya itu adalah seorang perempuan dengan pemikiran yang menakjubkan, selalu menginspirasi dirinya dalam menulis puisi-puisi, puisi apa saja. Dia sadar betul, kekasihnya melacur akibat dari kesintingan dunia yang tidak adil ini. Tidak masalah. Tidak masalah. Tidak ada yang menjadi masalah bagi kehidupan pribadinya, semuanya cukup. Bagi lelaki ini cuma ada satu permasalahan di dunia ini, apalagi kalau bukan ketidakadilan.

Kalian tidak akan mampu membayangkan, pengalaman hidup macam apa yang telah dilaluinya walapun usianya masih terbilang muda. Pengalaman-pengalaman itu, memberinya kemampuan, entah kelebihan itu adalah sebuah berkat atau itu adalah sebuah kutukan, tak ada yang tahu. Kelebihan itu tersimpan di dalam kepalanya, menyebabkan indra-indra di badannya menjadi sangat sensitif dalam mengidentifikasi segala macam kebusukan. Dia memandang kehidupan ini dari segi-seginya yang keji. Membuatnya menjadi pribadi yang sangat ahli mendeteksi kemunafikan. Kelebihannya itu menjadikannya pribadi yang sangat curiga. Dia selalu melihat hal-hal manis sebagai suatu selubung yang menyembunyikan niat-niat jahat, karena dia yakin, kehidupan ini sudah membusuk sampai ke intinya. Itulah alasan, mengapa pilihan kata dalam puisinya sangat tidak terpuji dan amoral. Diksi-diksi kasar itu bakal mengusik siapa saja, karena pendengarnya bakal menemukan kemunafikannya sendiri. Jika boleh kugambarkan, mungkin puisinya itu begini: mendengar atau membaca puisinya akan memperlihatkan kepada siapa saja, kerinduan langit kepada bumi yang begitu menggebu, sehingga langit meruntuhkan diri dan memberikan manusia sebuah kiamat, semua ini omong kosong, keadilan tidak benar-benar tegak seperti dalam cerita-cerita bermoral.

===

Seperginya ia dari kantor administrasi itu, dia langsung menyetop dan menaiki sebuah bis kota reot di jalan raya depan kantor administrasi itu. Di dalam bis itu dia membacakan sebuah puisi, yang diberinya judul: Gerilyawan Kota, yang dituturkan dengan begitu saja tanpa ditulisnya ke selembar kertas atau apapun terlebih dahulu. berikut ini adalah isi dari puisi tersebut:

Aku penduduk sebuah kota
yang mempersolek wajahnya dengan gedung-gedung tinggi
untuk menyembunyikan kampung-kampung kumuh
yang menjadi bopengnya

Aku penduduk sebuah kota
manusia tanpa nama, agama bahkan kejelasan usia
yang beerkerja sebagai gerilya
dengan kata sebagai senjata

Aku adalah seorang gerilya
kota ini adalah rimbaku
yang ingin kurebut adalah kemerdekaan atas diriku sendiri
puisiku adalah tantangan bagi segala jenis kekuasaan

Seandainya puisiku adalah senapan
berpelurukan kata-kata
kupastikan seluruh
pejabat-pejabat itu
para pemuka itu
dan orang-orang kaya
telah mati di tanganku
setelah kutembak kepalnya dengan sepucuk puisi
sebab kata-kataku tiada batas dan takan pernah habis

Hari ini dia hanya membaca puisi itu di semua tempat-tempatnya mengamen. Seperti biasa mengamen puisi selalu pahit, karena hanya sedikit orang yang tertarik kepada puisi pada jaman sekarang. Hasil mengamennya hari ini, hanya memberinya dua bungkus nasi dengan lauk apa adanya. Malam ini, dia pulang ke rumah kekasihnya.

===

Bersambung


1 komentar: